Bismillah, NHW kali ini begitu menohok rasanya bagiku. Melihat perilaku Althaf kini seperti bercermin pada diri sendiri. Kulihat memang kepemimpinan mulai tumbuh dalam dirinya, ada ketegasan di sana, tapi tak luput dari sikap emosional yang juga tak sengaja kutampilkan. Aku bukanlah pribadi yang lembut dalam bertutur kata dan bertindak. Begitu pula dengan apa yang kudapat dari kedua orang tuaku, sejak kecil hingga kini.
Aku menyadari itu, aku memaafkannya dan berusaha untuk memperbaikinya. Mengapa? Banyak hal yang kupikir akan lebih baik jika segala sesuatu dibalut dengan kelembutan dan kasih sayang. Berbicara, berperilaku, dan bersikap tanpa perlu terburu-buru untuk menampilkan kemarahan apalagi menunjukkan rasa dendam. Aku sedang belajar untuk menyelesaikan masa lalu, demi masa depan anak-anakku.
Berawal dari pengelolaan emosi yang terlebih dahulu harus aku kuasai. Perlu untuk menyeimbangkan antara pemikiran (akal) dengan perasaan (hati nurani), sehingga emosi yang dikeluarkan sesuai dengan porsinya. Seperti kita ketahui, emosi adalah bentuk dorongan dari dalam diri. Tak jarang dalam kondisi tertentu, emosi yang ditampilkan memang sangat berlebihan, meluap-luap.
Sudah pasti apa yang ditampilkan terekam jelas dalam ingatan Althaf dan tak sadar untuk meniru dan menampilkannya dalam situasi serupa. Bahkan apa yang ditampilkan bisa saja lebih buruk lagi, karena anak-anak tentu belum maksimal dalam mengolah pemikiran dan perasaannya.
Aku akan mulai dengan memahami diri sendiri, apa hal-hal yang sekiranya bisa memicu munculnya emosi negatif. Biasanya kondisi tersebut terjadi saat aku dalam keadaan lapar atau terdesak waktu. Jadi, aku perlu memperbaiki manajemen waktu agar tidak selalu dalam keadaan “hectic” serta tepat waktu dan jumlah dalam urusan makan. Adapun berbagai trik menenangkan diri serta melepaskan stress diperlukan dengan cara yang tepat, sesuai dengan masing-masing orang.
Sebenarnya kondisi di atas adalah salah satu peristiwa di masa lalu yang berkontribusi negatif cukup besar pada kehidupanku dan keluarga kecilku saat ini. Namun, alhamdulillah aku sudah berdamai dengannya, menemukan jalan keluar untuk mengatasinya dan istiqomah menjalankannya.
Setelah membuat “Lifeline Mapping” ada satu peristiwa besar yang kualami setelah menikah dan masih mengganjal saat ini, sehingga perlu lebih lanjut kubuat analisanya dengan VAKOG (visual, auditory, kinesthetic, olfactory, gustatory) dan TFSN (thinking, feeling, action tendency, needs). Apakah setelah menganalisanya, perasaanku menjadi lega? Belum sepenuhnya ternyata, sehingga rasanya perlu lebih dalam memaknai peristiwa tersebut melalui “Jembatan Mizan”. Berikut adalah tabel uraiannya:
Setelah menjabarkan salah satu peristiwa besar dalam hidup melalui sebuah “Jembatan Mizan” seperti di atas, maka perasaanku menjadi lebih lega dan tenang. Memang peristiwa tersebut bukan terjadi mendadak atau dengan paksaan, tetapi memang pada awalnya berasal dari keinginan aku dan suami untuk mengasuh dan mendidik sendiri anak-anak kami, tanpa intervensi orang lain di rumah. Namun, dalam perjalanannya begitu berat dan perlu merenungi bahwa sesungguhnya banyak hikmah di balik peristiwa, seperti yang sedang kulakukan saat ini. Alhamdulillah…
Bismillah… Ke depannya aku menjadi lebih yakin dengan keputusan yang kami buat dan jalan yang kami pilih. Aku ingin menjadi seorang Ibu Rumah Tangga yang Profesional, menjalankan segala tugas utama sebagai ibu dengan optimal, mengurus rumah tangga, melayani suami, dan mendidik anak-anak. Dengan niat ibadah kepada Allah SWT, insyaAllah kehidupan yang berkah di dunia serta ganjaran pahala untuk tabungan akhirat akan Dia berikan kepadaku. Aamiin Allahumma Aamiin. Tentunya bekerja di ranah domestik tak menutup kesempatan bagiku untuk juga menjadi ibu yang produktif. Dengan terus memahami kemampuan, minat dan bakat diri, insyaAllah kekhawatiran aku terhadap urusan finansial akan segera selesai. Tak ada lagi bentuk penyesalan masa lalu dan kegundahan akan masa depan. Aamiin Yaa Mujibas Saailiin.
Komentar
Posting Komentar