Beberapa pekan terakhir kita "dihebohkan" oleh berita hoax yang konon pelaku pemberitaannya saat ini sudah dijadikan tersangka. Berita tersebut nyatanya telah menyeret beberapa tokoh nasional juga dalam dugaan menyebarluaskan berita hoax. Mungkin saja semua takkan terjadi jika Si Sumber Berita berani berkata "jujur". Mulai dari jujur pada diri sendiri, orang-terdekat, sehingga tak perlu sampai meluas hingga menjadi berita nasional. Terlepas dari siapa orang yang menyebarkan berita, posisinya, statusnya, jabatannya, dan lain sebagainya. Sejatinya setiap orang harus berkata jujur, begitu pula dengan apa yang saya tanamkan kepada diri sendiri, suami, dan anak-anak.

Saya selalu berusaha untuk berkata jujur walau pahit sekalipun. Hm... Mungkin sesekali pernah juga khilaf, tapi saya selalu berusaha memutus mata rantai kebohongan atau seleksi informasi. Ya, saya biasanya melakukan seleksi informasi karena informasi tidak sepenuhnya disampaikan. Jadi, sebenarnya bukan sepenuhnya berbohong atau "mengada-ada" sih. Saya juga berusaha menciptakan budaya jujur dalam keluarga, mulai dari suami. Kalau bersama suami, tentunya sikap saling terbuka akan lebih nyaman walau berkali-kali menimbulkan konflik. Haha.. Kondisi tersebut hanya di awal-awal pernikahan kok, karena saat "terbuka" itulah kita menjadi saling mengenal lebih dalam. Maklum saja, masa perkenalan kami cukup singkat hingga memutuskan untuk menikah. Ketika semuanya jujur dan terbuka jadi kejutan-kejutan semakin terasa.
Sekarang budaya jujur ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak kami. Kebiasaan bercerita, membuat anak pertama kami jadi lebih terbuka. Termasuk perkataan dan perbuatannya yang kurang baik atau salah, kami merespon positif untuk membuatnya tetap nyaman saat berkata jujur. Seperti kejadian dua pekan lalu, walaupun perbuatan yang dilakukannya sangatlah tidak baik, memalukan, bahkan merugikan. Kami bersyukur, ia berani berkata jujur. Aliran rasa tertuang dalam tulisan di bawah ini. Selamat membaca ^_^
•••
Nak, kemarin dirimu berbuat kesalahan. Kesalahan yang amat merugikan orang lain. Lalu apa yang bunda lakukan? Bunda bertanya tentang perbuatanmu, dengan seksama bunda dengarkan ceritamu, dengan penuh bunda tatap matamu, dengan empati bunda perhatikan ekspresi wajahmu.
Nak, Kamu anak yang cerdas, kamu mencerikan urutan kejadian satu per satu dengan sangat jelas. MasyaAllah... Tabarakallah...
Bunda marah? Tidak. Bunda hanya bisa menangis, menangis dihadapanmu. Lalu kamu memeluk bunda dengan erat, seraya meminta maaf dengan penuh kesungguhan.
Bunda berhenti menangis? Tidak. Tangisan bunda malah semangin deras. Bunda tak kuasa menahannya, hingga dirimu mengusapkan air mata bunda sambil berkali-kali berkata maaf dengan penuh penyesalan.
Nak, maafkan bunda yang mungkin lalai berpesan padamu akan banyak hal yang belum kamu pahami. Namun, satu yang sangat bunda syukuri, kamu ini anak yang jujur, Nak. Kamu jujur, kamu berani mengakui kesalahan, dan berani bertanggung jawab atas kesalahanmu. Kamu patuhi pesan bunda untuk selalu jadi anak yang jujur, ini bekal masa depanmu dan bekal akhiratmu. Bunda sungguh bersyukur.
Nak, bunda tak ingin merusak kejujuranmu dan permintaan maafmu yang tulus ini dengan amarah. Biarlah bunda yang membayar rasa malu, tanggung jawab bahkan materi sekali pun, tak mengapa. Semoga orang yang merasa dirugikan pun dapat ikhlas memaafkanmu. Semoga setiap orang yang mengetahui dapat memahamimu. Dan semoga Allah SWT selalu melindungi setiap langkahmu, menjaga ucapan dan perbuatanmu, memberi keberkahan atas kehidupan dunia dan akhiratmu. Aamiin Allahumma Aamiin.
Depok, 28 September 2018
-Bundyta yang selalu menyayangimu-
Komentar
Posting Komentar